Tentang Benedict



Teruntuk kamu, yang dengan brengsek aku patahkan hatinya,

Aku mau bersua. Boleh? Tidak? Ya sudah tidak penting, dengarkan saja aku dulu.

Ketika kamu menyatakan semua kepadaku, aku buyar. Aku tidak pernah merasa bahwa kamu dan rasa akan berima menjadi satu. Aku tak pernah menyangka bahwa lelaki yang aku anggap sebagai pendengar terbaikku, akan menyimpan rasa padaku.

Kamu dan aku, adalah dua manusia yang berbeda. Kamu kecanduan asap putih, dan aku kecanduan tumpukan buku di sudut ruangan. Kamu bukan yang aku inginkan, dan aku yakin betul, bahwa aku juga bukan yang kamu inginkan.

Mengenal kamu, adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padaku. Kamu menarik hati dengan cepat, dan aku ingat, aku hafal betul rautmu malam itu, ketika kubiarkan kamu mengenal sedikit tentang dia, yang sampai saat ini masih memakan tempat di hatiku.

Kamu disampingku, diam membisu, dan hanya mendengar aku bercerita. Dan mereka, yang menyaksikan kisahku dan kamu, segera menyatakan bahwa aku, dan kamu sangat sempurna jika bersama.

Lalu, tiba-tiba, aku melepas semua itu. Tidak. Masalahnya bukan di kamu. Masalahnya ada di aku. Aku belum siap mematahkan hati orang lain, dan aku tau pasti jika kita menjadi sebuah kisah, aku akan merusak kisah kita dengan sangat cepat.

Hari berlalu, dan sebelum aku bisa menerimanya, kamu menjauh. Melepas semua pandangan dan aku, lagi-lagi hanya sekelebat bayangan bagi kamu. Aku tau aku salah, tapi, tidak bisakah kamu mendengar penjelasanku? Kenapa kamu memilih mendengar dari orang lain, Ben?

Mungkin mereka benar. Mungkin, aku memang gila. Mungkin, dari awal kita memang tidak pernah baik-baik saja. Aku memang berbalik badan dan melangkah pergi.

Tiba-tiba, tangan yang aku genggam, bukan lagi tanganmu. Aku minta maaf. Maaf tidak pernah cukup, tapi hanya itulah yang bisa aku katakan. Apalagi yang bisa aku katakan? Aku hanya menyanyangimu. Tidak. Aku tidak mencintaimu. Dan berpura-pura mencintaimu, hanya akan sama seperti mematahkan hatimu seperti ini, hanya saja, aku lakukan di masa depan.

Aku harap, aku bisa mengembalikan semua waktu yang kamu buang untukku. Mengembalikan semua waktu yang kamu gunakan untuk menyatakan bahwa kamu mencintaiku. Lagi, aku minta maaf.

Aku tidak tau bagaimana ini terlihat di matamu, tapi aku tidak pandai berbicara. Aku selalu berteriak, disaat maksudku untuk berbisik. Mendorongmu pergi, disaat maksudku untuk menyelamatkanmu dari patah hati, yang lebih parah dari ini.

Semua orang berkata padaku, bahwa aku tidak akan menemukan cinta yang lebih hebat dari kamu, Aku hanya terdiam. Mengerti bahwa mereka tidak akan pernah paham alasanku. Tapi, keheninganku membunuh perasaanku sendiri dan akhirnya aku menulis semua ini. Toh, aku berutang hal ini padamu kan?

Jika hatiku bisa berbicara, kamu pasti akan mengerti. Tapi, aku paham. Aku sudah menyakitimu. Jadi, aku hanya akan berbicara sampai disini. Nanti, jika kamu sudah memaafkanku, datanglah padaku, dan aku akan mengajakmu berbicara, tentang kisah pendek yang pernah kita tulis.

Terimakasih karena pernah bersabar dengan segala faseku yang berubah seperti lagu-laguku.
Terimakasih karena dulu pernah mau.

You love me, but I'm letting you go.

Tertanda,
Aku (yang pernah) menyayangimu.

Comments

Popular Posts